Si Kecil Pemalas Alasannya Ialah Bawaan Lahir
Coba, deh, ingat-ingat lagi waktu si kecil masih bayi, apakah ia amat hening dan tak banyak bergerak? Kemudian di masa batita, apakah ia cenderung lamban atau lelet? Bila "ya", berarti memang si kecil "berbakat" pemalas, menyerupai dikatakan Dra. Shinto B. Adelar, MSc., "sedari lahir ia memang sudah tercetak menjadi anak pemalas."
Namun tentu saja, ini bukan harga mati. Soalnya, terperinci ketua Himpunan Psikologi Indonesia wilayah DKI Jakarta ini, masih ada sejumlah faktor lagi yang memunculkan sikap pemalas, yaitu:
* Lingkungan rumah.
Bila kita sebagai orang bau tanah dalam menjalani kehidupan sehari-hari selalu malas-malasan: bangkit tidur selalu siang, jarang melaksanakan aktivitas, cuma duduk-duduk saja atau tidur-tiduran, dan selalu main perintah pada pembantu kalau ingin melaksanakan sesuatu, ya, enggak heran kalau hal ini akan diteladani anak. Nah, kalau hal ini berlangsung terus dalam keseharian, lama-lama si kecil tentu menganggap sikap kita tersebut wajar-wajar saja. Jadilah ia ikut malas-malasan.
* Kebiasaan orang bau tanah yang selalu meladeni anak.
Anak tak diberi kesempatan atau dibiasakan berguru mandiri. Segala sesuatunya, dari makan, membereskan mainan, hingga untuk BAK dan BAB pun selalu dilayani atau diladeni orang-orang cukup umur di sekelilingnya. Tentu lama-lama ia akan terbentuk menjadi anak yang inginnya selalu dilayani terus. Ia akan menolak kala disuruh melaksanakan hal-hal yang sepantasnya sudah menjadi kewajibannya/tanggung jawabnya, menyerupai makan atau membereskan mainan. Ia beranggapan, "Ngapain saya harus ngeberesin segala? Kan, sudah ada, si Mbak," misal. Kita memang harus memperlihatkan perhatian pada anak, tapi bukan perhatian berlebih yang hanya menciptakan anak jadi malas melaksanakan sesuatu.
* Masalah emosional pada diri anak.
Anak merasa tertekan sebab selalu disuruh-suruh orang bau tanah tapi tak berani mengutarakan perasaannya itu. Akhirnya yang dilakukan, ya, tindakan malas-malasan itu. Hal ini biasanya terjadi pada anak yang orang tuanya terlalu keras, yang tak memperlihatkan sedikit pun kesempatan pada anak untuk mengemukakan pendapatnya. Hingga, anak melaksanakan agresi protesnya dengan perbuatan malas-malasan.
* Kesehatan anak.
Pada dasarnya si kecil bukan pemalas, tapi sebab ia mengalami atau sedang dalam keadaan tak sehat, maka membuatnya jadi pemalas. Namanya sedang sakit, jangankan anak-anak, kita sebagai orang cukup umur pun kalau sedang sakit niscaya bawaannya malas melaksanakan aktivitas. Bagaimana mau beraktivitas, membuka mata saja sudah pusing. Iya, kan?
* Respon negatif dari orang bau tanah dan orang lain di sekeliling anak.
Anak selalu dihentikan tiap kali mau beraktivitas atau bereksplorasi, bahkan tak jarang malah dimarahi. Mau panjat-panjat dilarang, mau lari-lari enggak boleh, mau main tanah dimarahi, dan sebagainya. Jika sebentar-sebentar dihentikan dan dimarahi, lama-lama tentu si kecil jadi malas bereksplorasi. Pikirnya, "Lebih baik saya membisu aja, deh. Nanti saja tunggu kalau dibilangin."
* Lingkungan "sekolah".
Ini biasanya berkaitan dengan malas "sekolah". Jika "sekolah" tak mendukung kegiatan anak, entah kurang mengadakan kegiatan fisik ataupun kurang meminta/memancing anak untuk mengaktifkan pengindraannya terlebih kalau "sekolah" itu pun kekurangan alat peraga, jadilah si kecil malas melaksanakan acara "sekolah". Padahal, anak usia prasekolah harusnya berguru lebih banyak memakai semua indra dan anggota badannya.
Tak hanya itu, kalau si kecil punya kesan tak menyenangkan terhadap guru atau teman-temannya, ia pun lebih menentukan tak "sekolah". Apalagi kalau di rumahnya memang lebih enak, bisa main aneka macam permainan bersama teman-teman yang seru. Hal lain, bisa juga anak merasa tugas-tugas yang diberikan gurunya amat membosankan atau terlalu sulit.
INTROSPEKSI DIRI
Jadi, tekan Shinto, sebaiknya kita tak gegabah mencap si kecil pemalas, tapi selidiki dulu latar belakangnya. "Bila kita suruh ia membereskan mainannya, misal, dan ia bilang "Ya" atau "Sebentar" tapi ternyata gres dikerjakan beberapa ketika kemudian, belum tentu sebab dirinya pemalas. Bisa jadi itu yakni ungkapan protes, marah, atau kekecewaannya," kata pengajar di jurusan Perkembangan, Fakultas Psikologi UI ini.
Jikapun ia bersikap begitu karena ingin cari perhatian, kita juga tak boleh semena-mena mengatakannya pemalas. "Ingat, anak belum bisa mengungkapkan perasaan-perasaannya lewat kata-kata, hingga ia melakukannya dengan caranya sendiri yang alhasil mengakibatkan evaluasi atau anggapan pemalas dari kita." Terlebih lagi kalau ia tengah sakit, "kita harus memberinya pengobatan disertai kasih sayang dan kehangatan, bukan malah mencapnya pemalas."
Jadi, tekan Shinto lagi, "cari tahu dulu penyebabnya. Jangan-jangan sikapnya justru sebab ia menggandakan kita yang suka bermalas-malasan. Nggak lucu, kan, kalau kita mencapnya sebagai anak pemalas. Wong, beliau menggandakan kita, kok."
Dengan mengetahui latar belakangnya, kita jadi bisa lebih spesifik dalam mengarahkan si kecil biar tak jadi pemalas. Namun sebelumnya, kita harus lebih dulu introspeksi diri dan mengubah kebiasaan-kebiasaan jelek yang kita lakukan sehari-hari menyerupai bermalas-malasan, selalu main perintah, memperlihatkan jawaban negatif pada apa yang dilakukan anak, atau malah memanjakan anak secara berlebihan.
Dalam bahasa lain, perubahan pada diri anak amatlah tergantung lingkungan. "Kita perlu membiasakan anak menyukai segala sesuatu acara kehidupan, baik dengan pola yang selalu kita perlihatkan padanya atau dengan mengajaknya untuk menyukai pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya." Misal, "Kalau kau membereskan mainan kamu, asyik, lo, kamarmu jadi higienis dan terasa lapang. Kamu juga bisa baca buku sambil tiduran di karpet. Nanti kalau kau memerlukan mainan itu lagi, kau tahu barang-barang kau letaknya di mana, sehingga kau tinggal ambil saja, tak perlu proteksi orang lain lagi."
Jadi, ajak ia dengan menyampaikan bahwa pekerjaannya itu yakni sesuatu yang asyik dan menyenangkan. Selanjutnya, secara perlahan-lahan kita beri pengertian padanya, "jika disuruh Ayah atau Ibu untuk melaksanakan sesuatu sebaiknya segera dikerjakan."
Bukankah ini semua demi kepentingan si kecil? Ia jadi berguru lebih bertanggung jawab dan lebih sanggup berdiri diatas kaki sendiri atau tak selalu tergantung pada orang lain.
tabloid nova
Berbagai Sumber
Namun tentu saja, ini bukan harga mati. Soalnya, terperinci ketua Himpunan Psikologi Indonesia wilayah DKI Jakarta ini, masih ada sejumlah faktor lagi yang memunculkan sikap pemalas, yaitu:
* Lingkungan rumah.
Bila kita sebagai orang bau tanah dalam menjalani kehidupan sehari-hari selalu malas-malasan: bangkit tidur selalu siang, jarang melaksanakan aktivitas, cuma duduk-duduk saja atau tidur-tiduran, dan selalu main perintah pada pembantu kalau ingin melaksanakan sesuatu, ya, enggak heran kalau hal ini akan diteladani anak. Nah, kalau hal ini berlangsung terus dalam keseharian, lama-lama si kecil tentu menganggap sikap kita tersebut wajar-wajar saja. Jadilah ia ikut malas-malasan.
* Kebiasaan orang bau tanah yang selalu meladeni anak.
Anak tak diberi kesempatan atau dibiasakan berguru mandiri. Segala sesuatunya, dari makan, membereskan mainan, hingga untuk BAK dan BAB pun selalu dilayani atau diladeni orang-orang cukup umur di sekelilingnya. Tentu lama-lama ia akan terbentuk menjadi anak yang inginnya selalu dilayani terus. Ia akan menolak kala disuruh melaksanakan hal-hal yang sepantasnya sudah menjadi kewajibannya/tanggung jawabnya, menyerupai makan atau membereskan mainan. Ia beranggapan, "Ngapain saya harus ngeberesin segala? Kan, sudah ada, si Mbak," misal. Kita memang harus memperlihatkan perhatian pada anak, tapi bukan perhatian berlebih yang hanya menciptakan anak jadi malas melaksanakan sesuatu.
* Masalah emosional pada diri anak.
Anak merasa tertekan sebab selalu disuruh-suruh orang bau tanah tapi tak berani mengutarakan perasaannya itu. Akhirnya yang dilakukan, ya, tindakan malas-malasan itu. Hal ini biasanya terjadi pada anak yang orang tuanya terlalu keras, yang tak memperlihatkan sedikit pun kesempatan pada anak untuk mengemukakan pendapatnya. Hingga, anak melaksanakan agresi protesnya dengan perbuatan malas-malasan.
* Kesehatan anak.
Pada dasarnya si kecil bukan pemalas, tapi sebab ia mengalami atau sedang dalam keadaan tak sehat, maka membuatnya jadi pemalas. Namanya sedang sakit, jangankan anak-anak, kita sebagai orang cukup umur pun kalau sedang sakit niscaya bawaannya malas melaksanakan aktivitas. Bagaimana mau beraktivitas, membuka mata saja sudah pusing. Iya, kan?
* Respon negatif dari orang bau tanah dan orang lain di sekeliling anak.
Anak selalu dihentikan tiap kali mau beraktivitas atau bereksplorasi, bahkan tak jarang malah dimarahi. Mau panjat-panjat dilarang, mau lari-lari enggak boleh, mau main tanah dimarahi, dan sebagainya. Jika sebentar-sebentar dihentikan dan dimarahi, lama-lama tentu si kecil jadi malas bereksplorasi. Pikirnya, "Lebih baik saya membisu aja, deh. Nanti saja tunggu kalau dibilangin."
* Lingkungan "sekolah".
Ini biasanya berkaitan dengan malas "sekolah". Jika "sekolah" tak mendukung kegiatan anak, entah kurang mengadakan kegiatan fisik ataupun kurang meminta/memancing anak untuk mengaktifkan pengindraannya terlebih kalau "sekolah" itu pun kekurangan alat peraga, jadilah si kecil malas melaksanakan acara "sekolah". Padahal, anak usia prasekolah harusnya berguru lebih banyak memakai semua indra dan anggota badannya.
Tak hanya itu, kalau si kecil punya kesan tak menyenangkan terhadap guru atau teman-temannya, ia pun lebih menentukan tak "sekolah". Apalagi kalau di rumahnya memang lebih enak, bisa main aneka macam permainan bersama teman-teman yang seru. Hal lain, bisa juga anak merasa tugas-tugas yang diberikan gurunya amat membosankan atau terlalu sulit.
INTROSPEKSI DIRI
Jadi, tekan Shinto, sebaiknya kita tak gegabah mencap si kecil pemalas, tapi selidiki dulu latar belakangnya. "Bila kita suruh ia membereskan mainannya, misal, dan ia bilang "Ya" atau "Sebentar" tapi ternyata gres dikerjakan beberapa ketika kemudian, belum tentu sebab dirinya pemalas. Bisa jadi itu yakni ungkapan protes, marah, atau kekecewaannya," kata pengajar di jurusan Perkembangan, Fakultas Psikologi UI ini.
Jikapun ia bersikap begitu karena ingin cari perhatian, kita juga tak boleh semena-mena mengatakannya pemalas. "Ingat, anak belum bisa mengungkapkan perasaan-perasaannya lewat kata-kata, hingga ia melakukannya dengan caranya sendiri yang alhasil mengakibatkan evaluasi atau anggapan pemalas dari kita." Terlebih lagi kalau ia tengah sakit, "kita harus memberinya pengobatan disertai kasih sayang dan kehangatan, bukan malah mencapnya pemalas."
Jadi, tekan Shinto lagi, "cari tahu dulu penyebabnya. Jangan-jangan sikapnya justru sebab ia menggandakan kita yang suka bermalas-malasan. Nggak lucu, kan, kalau kita mencapnya sebagai anak pemalas. Wong, beliau menggandakan kita, kok."
Dengan mengetahui latar belakangnya, kita jadi bisa lebih spesifik dalam mengarahkan si kecil biar tak jadi pemalas. Namun sebelumnya, kita harus lebih dulu introspeksi diri dan mengubah kebiasaan-kebiasaan jelek yang kita lakukan sehari-hari menyerupai bermalas-malasan, selalu main perintah, memperlihatkan jawaban negatif pada apa yang dilakukan anak, atau malah memanjakan anak secara berlebihan.
Dalam bahasa lain, perubahan pada diri anak amatlah tergantung lingkungan. "Kita perlu membiasakan anak menyukai segala sesuatu acara kehidupan, baik dengan pola yang selalu kita perlihatkan padanya atau dengan mengajaknya untuk menyukai pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya." Misal, "Kalau kau membereskan mainan kamu, asyik, lo, kamarmu jadi higienis dan terasa lapang. Kamu juga bisa baca buku sambil tiduran di karpet. Nanti kalau kau memerlukan mainan itu lagi, kau tahu barang-barang kau letaknya di mana, sehingga kau tinggal ambil saja, tak perlu proteksi orang lain lagi."
Jadi, ajak ia dengan menyampaikan bahwa pekerjaannya itu yakni sesuatu yang asyik dan menyenangkan. Selanjutnya, secara perlahan-lahan kita beri pengertian padanya, "jika disuruh Ayah atau Ibu untuk melaksanakan sesuatu sebaiknya segera dikerjakan."
Bukankah ini semua demi kepentingan si kecil? Ia jadi berguru lebih bertanggung jawab dan lebih sanggup berdiri diatas kaki sendiri atau tak selalu tergantung pada orang lain.
tabloid nova
Belum ada Komentar untuk "Si Kecil Pemalas Alasannya Ialah Bawaan Lahir"
Posting Komentar