Demi Keharmonisan
Bagi mereka yang pernah menyandang predikat mulia sebagai seorang ibu atau sedang menjadi seorang ibu pasti paham gimana kesalnya ketika si anak tak mau tidur, makan atau menuruti kehendak kita sebagai orangtuanya. Rasanya kejengkelan dan kekesalan itu terus bertambah sejengkal demi sejengkal hingga tidak jarang terjalin ikatan jodoh jelek dan jurang komunikasi yang semakin lebar antara orangtua dan anak. Tentu hal ini tak boleh dipandang sebelah mata dan dibiarkan begitu saja. Sebab bukan mustahil kekerabatan atau kekerabatan yang serasi antara orangtua dan anak akan luntur seiring perbedaan visi dan misi yang semakin melebar.
Seringkali kesabaran kita diuji dan keikhlasan hati seolah dipertaruhkan. Sejauh mana kesanggupan yang ada untuk menghadapi dentuman demi dentuman kejengkelan yang terus mendera diri apalagi ketika emosi memainkan tugas utama. Ambil pola sederhana saja bagaimana kejengkelan seorang ibu ketika harus menghadapi tangisan anaknya yang seolah tidak berhenti bagaikan nyaringnya klakson panjang kereta api. Apalagi bila tangisan itu hanya sekedar upaya si anak mencari perhatian atau sebuah agresi protes. Tentu semua itu akan menciptakan kejengkelan semakin bertambah dan bukan mustahil berlanjut menjadi sebuah agresi kekerasan. Jelas itu bukanlah solusi terbaik. Perhatikanlah bahwa ketika sebuah kejengkelan mendera ada kebaikan yang sanggup dilakukan yakni melapangkan dada. Bukalah hati dan lapangkan selebar-lebarnya kemudian terimalah apa adanya. Kalau intinya anak kita memang cengeng dan suka rewel maka terimalah ia dengan lapang dada. Anggaplah tangisan rewelnya sebagai kidung kesabaran terindah yang sengaja disenandungkan demi menguji kesabaran kita. Meski menjengkelkan suatu ketika nanti kita pasti akan merindukan kembali senandung kecil menyerupai itu. Ketika anak mulai beranjak berilmu balig cukup akal terang kita tak mungkin lagi mendengar lengkingan rewelnya itu. Kaprikornus nikmatilah kini selagi sempat alasannya yaitu mungkin suatu ketika nanti kita akan kangen bahkan sangat berharap untuk mendengarnya lagi.
Cobalah perhatikan sisi kelucuan seorang anak kecil. Kadang hanya karena kita lebih sering mengambil sudut pandang yang keliru dan sempit sehingga yang terlalu disorot hanya sisi buruknya saja. Seorang anak kecil yang sama sanggup dianggap lucu dan nakal pada waktu yang sama dengan agresi yang sama tetapi oleh dua orang yang berbeda. Bukannya nakal itu lucu tapi tergantung kita menentukan mau melihat dari sudut mana. Dari sisi lucunya karena seorang anak kecil toh belum mengerti mana yang benar dan salah sehingga cenderung atau rentan melaksanakan kesilapan. Atau sebaliknya malah berusaha menyamakan alias meletakkan persepsi orang berilmu balig cukup akal pada seorang anak kecil yang belum tahu apa-apa.
Masalah utamanya selama ini kita memang selalu salah kaprah dan menginginkan orang lain mengerti kita dulu, memahami sekaligus mengikuti keadaan dengan kita. Padahal seharusnya kitalah yang lebih dulu harus mengharmoniskan diri dengan orang lain dan sesama. Kalau sudah membahagiakan orang lain otomatis kita sendiri juga akan bahagia. Jangan pernah menuntut orang lain untuk serasi dan mengikuti keadaan dengan kita alasannya yaitu itu hanya akan menciptakan diri sendiri tertekan dan stres. Bagaimana tidak? Semua akan menjadi sulit dan rumit apalagi ketika tuntutan kita tak pernah menjadi kenyataan. Sebab sangat sulit berharap orang lain akan benar-benar mengerti atau memahami apa yang kita inginkan. Bukankah kita jadi stres ketika orang lain justru tak kunjung memahami sekaligus mengikuti keadaan dengan kita? Kaprikornus yang terbaik yaitu mulailah mengharmoniskan diri dengan orang lain. Selain diri sendiri tidak tertekan, orang lainpun akan bahagia. Aku, kamu, beliau senang berarti semuanya berbahagia. Bukankah itulah tujuan sebuah keharmonisan?
Lalu bagaimana membangun keharmonisan terhadap orang yang terus-menerus menyakiti kita? Sanggupkah kita hidup serasi dengan orang menyerupai itu meski terpaksa? Jawaban pastinya maafkanlah dan cobalah memaklumi siapapun yang telah menyakiti kita. Basuhlah hatinya dengan kasih dan tuntunlah dengan Hati Nurani supaya ia sanggup kembali ke jalan yang benar. Bagaimanapun seorang yang telah berbuat salah dan dosa atau tidak sesuai Hati Nurani pasti tak akan pernah merasa tenang sepanjang hidupnya. Sebab ia akan terus dikejar perasaan bersalah karena telah mengingkari Nuraninya sendiri.
Mungkin pada awalnya ia boleh tertawa arogan dan menari kegirangan di atas penderitaan orang yang telah disakitinya. Tetapi di balik kemenangan liciknya, jauh di dasar hatinya akan terasa hampa dan terus diburu rasa sesal dan bersalah. Orang yang suka menyakiti sesama tak akan pernah senang karena telah menciptakan orang lain tidak bahagia. Bagaimanapun ia pasti akan mendapatkan akibat karmanya cepat atau lambat. Selama sanksi alam buruknya belum berbuah, ia akan terus-menerus hidup di dalam bayang-bayang dosa kesalahannya sehingga tak pernah mengecap kebahagiaan sejati. Terhadap orang yang demikian, tegakah kita ikut menghukumnya bahkan balik menyakitinya? Bukankah kita malah seharusnya merasa kasihan terhadap orang menyerupai itu karena ia telah dieksekusi oleh perasaan bersalah dan sesal seumur hidupnya?
Seringkali kesabaran kita diuji dan keikhlasan hati seolah dipertaruhkan. Sejauh mana kesanggupan yang ada untuk menghadapi dentuman demi dentuman kejengkelan yang terus mendera diri apalagi ketika emosi memainkan tugas utama. Ambil pola sederhana saja bagaimana kejengkelan seorang ibu ketika harus menghadapi tangisan anaknya yang seolah tidak berhenti bagaikan nyaringnya klakson panjang kereta api. Apalagi bila tangisan itu hanya sekedar upaya si anak mencari perhatian atau sebuah agresi protes. Tentu semua itu akan menciptakan kejengkelan semakin bertambah dan bukan mustahil berlanjut menjadi sebuah agresi kekerasan. Jelas itu bukanlah solusi terbaik. Perhatikanlah bahwa ketika sebuah kejengkelan mendera ada kebaikan yang sanggup dilakukan yakni melapangkan dada. Bukalah hati dan lapangkan selebar-lebarnya kemudian terimalah apa adanya. Kalau intinya anak kita memang cengeng dan suka rewel maka terimalah ia dengan lapang dada. Anggaplah tangisan rewelnya sebagai kidung kesabaran terindah yang sengaja disenandungkan demi menguji kesabaran kita. Meski menjengkelkan suatu ketika nanti kita pasti akan merindukan kembali senandung kecil menyerupai itu. Ketika anak mulai beranjak berilmu balig cukup akal terang kita tak mungkin lagi mendengar lengkingan rewelnya itu. Kaprikornus nikmatilah kini selagi sempat alasannya yaitu mungkin suatu ketika nanti kita akan kangen bahkan sangat berharap untuk mendengarnya lagi.
Cobalah perhatikan sisi kelucuan seorang anak kecil. Kadang hanya karena kita lebih sering mengambil sudut pandang yang keliru dan sempit sehingga yang terlalu disorot hanya sisi buruknya saja. Seorang anak kecil yang sama sanggup dianggap lucu dan nakal pada waktu yang sama dengan agresi yang sama tetapi oleh dua orang yang berbeda. Bukannya nakal itu lucu tapi tergantung kita menentukan mau melihat dari sudut mana. Dari sisi lucunya karena seorang anak kecil toh belum mengerti mana yang benar dan salah sehingga cenderung atau rentan melaksanakan kesilapan. Atau sebaliknya malah berusaha menyamakan alias meletakkan persepsi orang berilmu balig cukup akal pada seorang anak kecil yang belum tahu apa-apa.
Masalah utamanya selama ini kita memang selalu salah kaprah dan menginginkan orang lain mengerti kita dulu, memahami sekaligus mengikuti keadaan dengan kita. Padahal seharusnya kitalah yang lebih dulu harus mengharmoniskan diri dengan orang lain dan sesama. Kalau sudah membahagiakan orang lain otomatis kita sendiri juga akan bahagia. Jangan pernah menuntut orang lain untuk serasi dan mengikuti keadaan dengan kita alasannya yaitu itu hanya akan menciptakan diri sendiri tertekan dan stres. Bagaimana tidak? Semua akan menjadi sulit dan rumit apalagi ketika tuntutan kita tak pernah menjadi kenyataan. Sebab sangat sulit berharap orang lain akan benar-benar mengerti atau memahami apa yang kita inginkan. Bukankah kita jadi stres ketika orang lain justru tak kunjung memahami sekaligus mengikuti keadaan dengan kita? Kaprikornus yang terbaik yaitu mulailah mengharmoniskan diri dengan orang lain. Selain diri sendiri tidak tertekan, orang lainpun akan bahagia. Aku, kamu, beliau senang berarti semuanya berbahagia. Bukankah itulah tujuan sebuah keharmonisan?
Lalu bagaimana membangun keharmonisan terhadap orang yang terus-menerus menyakiti kita? Sanggupkah kita hidup serasi dengan orang menyerupai itu meski terpaksa? Jawaban pastinya maafkanlah dan cobalah memaklumi siapapun yang telah menyakiti kita. Basuhlah hatinya dengan kasih dan tuntunlah dengan Hati Nurani supaya ia sanggup kembali ke jalan yang benar. Bagaimanapun seorang yang telah berbuat salah dan dosa atau tidak sesuai Hati Nurani pasti tak akan pernah merasa tenang sepanjang hidupnya. Sebab ia akan terus dikejar perasaan bersalah karena telah mengingkari Nuraninya sendiri.
Mungkin pada awalnya ia boleh tertawa arogan dan menari kegirangan di atas penderitaan orang yang telah disakitinya. Tetapi di balik kemenangan liciknya, jauh di dasar hatinya akan terasa hampa dan terus diburu rasa sesal dan bersalah. Orang yang suka menyakiti sesama tak akan pernah senang karena telah menciptakan orang lain tidak bahagia. Bagaimanapun ia pasti akan mendapatkan akibat karmanya cepat atau lambat. Selama sanksi alam buruknya belum berbuah, ia akan terus-menerus hidup di dalam bayang-bayang dosa kesalahannya sehingga tak pernah mengecap kebahagiaan sejati. Terhadap orang yang demikian, tegakah kita ikut menghukumnya bahkan balik menyakitinya? Bukankah kita malah seharusnya merasa kasihan terhadap orang menyerupai itu karena ia telah dieksekusi oleh perasaan bersalah dan sesal seumur hidupnya?
Adalah masuk akal setiap rumahtangga yang dibangun dengan atau tanpa cinta pasti mengalami konflik meski kadarnya berbeda. Ada yang ringan tetapi tidak jarang adapula yang terlalu berat hingga mengakibatkan perceraian. Tetapi semua itu bukanlah alasan untuk tidak berusaha membangun sebuah keharmonisan dan mengerti satu sama lain. Sikap menyerah dan saling mendapatkan kekurangan masing-masing sangat dibutuhkan dalam hal ini dengan kata lain terkadang dalam sebuah konflik mesti ada salah satu pihak yang harus berkorban. Terutama berkorban perasaan karena setiap orang mempunyai sisi keangkuhan dan harga diri yang seolah tak mau kalah atau menyerah demi yang lain.
Tetapi demi sebuah keharmonisan toh semua itu harus dipertaruhkan dan dikorbankan. Bisa menyerah dan merugi diri yaitu perilaku yang mulia alasannya yaitu inilah kunci keharmonisan. Jikalau membisu yaitu pilihan terbaik demi sebuah keharmonisan, mengapa tidak? Kadang demi keharmonisan sebuah keluarga selalu ada yang pihak yang harus berkorban untuk nerimo dan berdiam diri. Bisa berkesempatan menjadi orang berjiwa besar menyerupai itu, mengapa tidak? Singkatnya dengan kasih dan Nurani menjalin keharmonisan pasti akan tercipta kedamaian baik di dalam sebuah keluarga, masyarakat, negara bahkan dunia. Demi sebuah keharmonisan rasanya segala pengorbanan menjadi layak untuk dilakukan.
Belum ada Komentar untuk "Demi Keharmonisan"
Posting Komentar